Desa
Banteran, Kecamatan Sumbang, Purwokerto.
Duduk
di bawah pohon yang rindang, berada tepat di sisi hamparan sawah yang luas,
ditemani laptop, murotal dan mulailah
saya menulis.
Desa
yang akan sering saya kunjungi selama 4 bulan ke depan. Suasana yang khas
pedesaan, dimana masih asrinya alam, aliran sungai yang terdengar percikannya
dan bahkan di surau pun masih menggunakan kayu yang ditabuh ketika memanggil
masyarakat untuk menunaikan sholat. Benar-benar merasakan naturalnya. Jalan yang
agaknya butuh energi besar untuk sampai tujuan, dan belum lagi hujan yang
sering datang saat senja tiba. Tapi itu tidak menjadikan berhenti untuk memulai
proses ini. Proses bagaimana berinteraksi dengan mereka, karna akan berbeda
ketika berbicara kepada orang-orang akademisi dengan orang-orang desa. Bahasa
yang digunakan pun sangat mempengaruhi interaksi kita. Tapi sayangnya, saya
tidak bisa bahasa “bebasan” -_-, ini
cukup menjadi kendala juga dalam interaksi dengan mereka. Untungnya ada kak Ros
yang bisa, sedikit banyaknya membantu. Berusaha mendekati mereka, perangkat
desa dan para petani yang ada di sana. Mencoba mengakrabkan diri dengan mereka,
mencoba mengenal sisi kehidupan mereka yang cukup pihatin juga. Dan saya baru
tahu ketika berhadapan langsung dengan para petani. Bersyukurlah bisa mengenyam
pendidikan hingga bangku kuliah, sekali lagi bersyukurlah kawan bisa sekolah. Di
sana ternyata banyak yang tidak tamat SD bahkan tidak bisa sekolah karna
minimnya biaya, untuk sehari-hari saja kekurangan, apalagi untuk sekolah.
Tepat
di depan saya, ada pak Warco sebagai petani yang sedang menggarap lahan sawah. Membuat
galengan, membajak, menggaru, dan kemudian meratakannya. Benih konensional pun
sudah disemai di lahan semai. Lahan ini yang akan menjadi tempat penelitian
saya, tentang water use productivity. Umumnya yang digunakan petani yaitu metode konvensional.
Tetapi dalam penelitian saya akan menggunakan metode System of Rice Intensification (SRI). Jadi meneliti bagaimana
kebutuhan air tanaman yang digunakan untuk metode SRI ini. Perbedaan antara SRI
dan konvensional yaitu terletak pada pengujian benih, penggunaan pupuk dan
terutama penggunaan air. Metode konvensional, air yang digunakan untuk mengairi
lahan yaitu menggenang. Untuk SRI, air yang digunakan hanya macak-macak,
penggunaan air yang efisien ini lah keunggulan SRI. Dengan penggunaan air yang
macak-macak, bisa menghasilkan panen yang sama banyaknya juga dengan metode
konvensional. Selain itu, pada metode SRI ada pengujian benih terlebih dahulu
sebelum disemai. Dalam hal penggunaan pupuk, metode konvensional menggunakan
pupuk kimia untuk membasmi gulma-gulma yang ada. Tetapi metode SRI menggunakan
pupuk organik untuk tetap mempertahankan kesuburan tanah dan unsur hara yang
ada di dalamnya, saat inilah konservasi tanah dan air sangat berperan. Metode SRI,
benih yang sedikit itu, bisa menghasilkan panen yang berlimpah dengan air yang
secukupnya, tidak perlu menggenangi sawah. Hanya saja kerugiannya yaitu karna metode
SRI itu satu tanaman pada satu lubang, maka resiko terkena hama lebih besar
karna benih awal sedikit. Maka dari itu, perlu keteraturan dan kerapihan sistem
yang lebih kuat dalam penggunaan metode SRI ini.
Untuk budidaya padi dan tanaman lainnya sudah ada bidangnya masing-masing, for example agroteknologi. Karna saya engineer, jadi bukan mempelajari budi daya padi, apa saja fasenya, perlakuan apa saja terhadap padi nya, saya tidak menguasai ilmu itu juga. Dan karna saya cenderung ke lingkungan hayati, jadi saya mempelajari hubungan tanah air dan tanaman, konservasi tanah dan air, khususnya perhitungan perkolasi, infiltrasi, irigasi, drainase, evapotransirasi, presipitasi, storage and water use effisiensi. Cukup itu yang menjadi kajian saya selama proses ini. Kemudian membandingkan jumlah air yang dibutuhkan pada metode SRI dengan jumlah air yang dibutuhkan pada metode konvensional. Dan unik nya lagi, seorang engineer ini punya CAD dan murobbi professor yang bisa membantu dalam jalannya penelitian. Sik asik, sik asik teman dirinya .^_^. Semoga ke depannya bisa bermanfaat, terutama untuk Desa Banteran ini.
Jadi
ingin membangun rumah di desa deh, bangun desa menjadikan desa yang produktif,
menerapkan teknologi-teknologi tepat guna, back
to natural dimana sistem itu saat ini mulai tergeserkan dengan adanya
aturan-aturan yang entahlah dikelola oleh oknum yang belum bisa
bertanggunggjawab. Semoga stake holder yang
terlibat termasuk peran akademisi bisa membawa dan menerapkan lingkungan hayati
pada setiap lini.
Semua
pekerjaan memang baik, asal yang halal dan diniatkan karna Allah. Salah satunya
yaitu petani. Kehidupan petani membuat saya ingin seperti mereka. Sederhana,
tidak banyak tingkah, bertanggungjawab apa yang menjadi pilihannya. Tulus ikhlas
menggarap lahan yang bukan milik mereka dengan upah yang tidak seberapa. Begitu
mulianya hati mereka. Untungnya, mereka belum terkontaminasi dengan sikap
materialistis, hedonisme, yang sekarang-sekarang... astagfirullah semakin marak
saja. Bahkan pemuda-pemudi yang merupakan generasi penerus bangsa saja mereka
membiasakan hidup hedonisme. Mereka belum sadar, belum paham akan perannya,
belum paham akan lingkungan sekelilingnya, dan bahkan tidak tahu untuk apa
mereka diciptakan.
Ayolah kawan, bukan saat nya lagi kita bermain-main. Bukan saatnya lagi kita mementingkan ego masing-masing, bukan saatnya lagi bermanja-manjaan pada inangnya, dan saat ini, mungkin kita tidak menyadari bahwa sedang ada yang mengintai dan mencari incaran selanjutnya lagi untuk menjadi korban ghawzul fikr dari zionis-zionis itu. Cobalah renungkan, bayangkan kehidupan orang-orang yang berada di bawahmu. Sungguh prihatin. Kamu yang setiap hari menghamburkan uang hanya untuk kesenangan semata, tanpa melihat kebermanfaataan dari uang yang telah dihamburkan itu. Bangun siang, sholat subuh pun terlewati, ke kampus hanya absen, tanpa niat menimba ilmu, pulang ke kost, bermain-main, berfoya-foya, shoping, ngrumpi, gosip, nge-game,dan perbuatan lain yang tidak bermanfat. Hanya bisa menghela nafas melihat dan mendengarnya. Semoga kita bisa menerapkan arkanul ‘amal itu kawan...
Ayolah kawan, bukan saat nya lagi kita bermain-main. Bukan saatnya lagi kita mementingkan ego masing-masing, bukan saatnya lagi bermanja-manjaan pada inangnya, dan saat ini, mungkin kita tidak menyadari bahwa sedang ada yang mengintai dan mencari incaran selanjutnya lagi untuk menjadi korban ghawzul fikr dari zionis-zionis itu. Cobalah renungkan, bayangkan kehidupan orang-orang yang berada di bawahmu. Sungguh prihatin. Kamu yang setiap hari menghamburkan uang hanya untuk kesenangan semata, tanpa melihat kebermanfaataan dari uang yang telah dihamburkan itu. Bangun siang, sholat subuh pun terlewati, ke kampus hanya absen, tanpa niat menimba ilmu, pulang ke kost, bermain-main, berfoya-foya, shoping, ngrumpi, gosip, nge-game,dan perbuatan lain yang tidak bermanfat. Hanya bisa menghela nafas melihat dan mendengarnya. Semoga kita bisa menerapkan arkanul ‘amal itu kawan...
*renungan
saat fajar menyapa di Desa Banteran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment disini yak..