Selasa, 20 Desember 2022

Dialog Dini Hari



Kalau harus ku mengingatmu lagi
Aku takkan sanggup
Dengan yang terjadi pada kita

Jika melupakanmu hal yang mudah
Ini takkan berat
Takkan membuat hatiku lelah

Kalah kuakui aku kalah
Cinta ini pahit 
Dan tak harus memiliki

Jika aku bisa
Ku akan kembali
Ku akan merubah
...............

-Budi Doremi, Mesin Waktu-

Jarum jam menunjukkan pukul 23.15, namun mata ini masih terjaga. Suara Budi Doremi terdengar sopan di telinga. Mengingat syairnya lagi maka pikiranku langsung flashback kembali ke masa beberapa tahun silam. Saat melihat namanya di layar inbox saja sudah berbunga-bunga. Zaman dimana belum ada whatsapp. Sengaja membalas inboxnya lama atau bahkan pernah keesokan hari agar komunikasi dengannya terus berlanjut. Merasa senang saat dia terlihat online di media sosialnya, di facebook atau messengernya. Menunggu balasan darinya seperti menunggu nilai IPK yang keluar di sistem akademik kampus, dag dig dug. Selalu senang ketika dia mengirimku tausyiah atau kalimat motivasi. 

Selalu senang ketika membicarakan dirinya dengan circle terdekat bahkan dengan keluarga. Low profile but high achievement.  Begitulah gambaran dirinya. Kalau orang lain bilang witing tresno jalaran soko kulino, maka aku entahlah. Bertemu hanya dua kali saat sekolah, dan dua kali saat kuliah. Tidak pernah mengenyam pendidikan di tempat yang sama. Jadi, dengan cara apa rasa itu tumbuh? Entahlah😂

Pasti Allah ingin aku mengambil hikmah dari pertemuan dengannya. Mengenal dan mengaguminya bertahun-tahun dalam diam awalnya, hingga tiba saat confes tahun 2012 dan mengajak menikah. Kalau dipikir lagi, berani bener mahasiswi mengajak menikah seorang ikhwan🙈. Kalau tidak dengan begitu, lantas apakah dibenarkan mengajaknya berpacaran? Tentu tidak. Namun, setelah disadari saat ini, ternyata terlalu cepat langkah yang diambil. Terlalu berani dan tidak istikharah yang lama. Istikharah hanya beberapa malam saja saat itu. Karena terlalu membuncah dan gejolak perasaan yang memang tidak dapat dibendung. Sudah kadung yang dilakukan, hanya satu perasaan yang dirasakan saat itu, lega rasanya. Sudah confes dan mengeluarkan unek-unek menjadi jalan pamungkas untuk menyelesaikannya, pikirku saat itu. Sedih dan senang menjadi satu rasa dan dalam satu waktu. 

Sebetulnya mudah saja bagiku menunggu 3 atau 4 tahun lagi. Kemudian ia bertanya pendapatku tentang keputusannya tidak menikah dulu sampai 3 atau 4 tahun lagi. Tapi saat itu aku bilang aku akan menepi, walaupun sebenarnya bukan benar-benar menepi. Karena pada kenyataannya masih ada satu nama yang selalu kupinta dalam doaku, sampai sebelum datangnya orang lain yang melamar ke rumah. Bahkan saat orang lain itu melamar ke rumah pun aku masih ingin dia yang jadi pendampingku. Aku menangis mengadu pada Allah Pemilik Hati, yang mampu membolak balikkan hati manusia. Butuh waktu lama bagiku menerima orang baru. Tapi aku teringat akan sebuah nasihat dalam agamaku, bahwa jika ada seorang lelaki shaleh datang melamar, maka terimalah. Singkat cerita dan dengan banyak pertimbangan, aku terima lamaran 'orang lain' itu. Dan pada akhirnya kami melanjutkan proses hingga menikah dan sampai saat ini still counting. Ia yang tadinya orang lain, kini menjadi suamiku hingga maut memisahkan insyaa Allah.

Tentu bukan dengan begitu saja Allah mempertemukan. Setiap pertemuan seseorang dengan orang lainnya di dunia ini, yakinlah Allah punya satu atau bahkan beberapa alasan untuk itu. Allah lebih mengetahuinya. Pandai-pandai kita saja untuk mengambil hikmahnya. Bersyukur pernah mengenalnya, karena banyak kebaikan juga yang bisa dipetik dari dirinya yang low profile. Memang tidak selamanya cinta pertama itu menjadi cinta terakhir. Namun yang pasti adalah cinta terakhir menjadi cinta yang diperjuangkan selamanya sampai surga Allah.

Sekarang sudah punya kehidupan masing-masing. Punya ujian rumahtangga yang berbeda. Tidak ada perasaan apapun lagi. Hanya saja, cinta pertama memang punya ruang sendiri di pojok hati yang tidak bisa hilang begitu saja. Sama halnya dengan seorang anak pertama. Kakak Azzam adalah anak pertama kami. Ia memiliki ruang tersendiri di hati aku dan suami, karena kehadirannya lah yang membuat kami bergelar orangtua.  Semoga Allah menjadikan keluargaku menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah, menjadikan Kakak Azzam dan Adek Zaid menjadi anak yang sholeh, hingga bisa berkumpul lagi di jannah. Begitupun dengan keluarganya di sana. Padahal sad ending in my first love karena nyatanya aku tidak berjodoh dengannya, tapi kisah ini menyenangkan untuk dikenang bagi diri aku sendiri.

Note : bernostalgia itu menyenangkan sekali. Bagiku, ketika kita membuka memory ke masa silam, maka ada energi yang mengisi ruang hati yang sedang butuh asupan semangat untuk menjalani hari-hari sebagai istri dan seorang ibu. Semoga bisa menjadi istri sholehah dan dimampukan memberikan yang terbaik untuk suami, menjadi ibu yang bahagia buat anak-anakku. Semangat untuk kita ya, teruslah belajar memperbaiki diri, menjadi manusia yang lebih baik lagi dari hari ke hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment disini yak..