Kamis, 27 Maret 2014

-Pada suatu fajar di hari ke 26 bulan Maret 2014-

Langkah kakinya bergerak menuju pemberhentian kereta di salah satu sudut Kota Udang. Langkahnya cepat, matanya melihat sekeliling dan dalam hatinya berkata "Alhamdulillah bisa berjumpa dengan kereta lagi :)". Dengan sigap gadis itu segera memasuki pintu masuk, karena nyatanya kereta Kutojaya Utara akan segera berangkat 5 menit lagi. Melanjutkan langkah ke jalur 7, lantas segera memasuki gerbong 7 dan duduk pada kursi bernomor seri 15 E. Gadis itu kemudian bisa bernafas lega, sebab jika tidak cepat datang, ia hampir saja tertinggal kereta [lagi]. Dan ternyata di deretan kursi bernomor seri itu, ia hanya seorang diri. Sepi, hanya ada beberapa penumpang saja yang berada di gerbong itu. Satu keluarga yang membawa anak-anaknya, seorang bapak yang berada di kursi seberang dan entahlah beberapa penumpang di gerbong 7 bagian depan yang terlihat samar. Biasanya, saat padat oleh penumpang, ia sesekali berbincang-bincang dengan penumpang sebelahnya, atau sekedar "say hi" sembari tersenyum pada penumpang yang lain. Tapi tidak untuk kali ini. Ia memilih diam, duduk tepat samping jendela (karna posisi ini adalah posisi yang paling disukainya ketika bepergian, duduk dekat jendela), dan memandang jalanan yang dilaluinya. 

Tepat 08.45 Kutojaya Utara bergerak menuju selatan. Lambat...namun pasti bergerak maju. Jurusan Senen-Kutoarjo telah menjadi pilihannya untuk singgah di Kota Satria. Kota Satria adalah kota sejuta kenangan sekaligus kota pembelajaran hidup, gumamnya dalam hati. Sembari mendengarkan murottal dari hp seri nya, sesekali ia murojaah lantunan ayat-ayat indah itu, dan ia merasa terbata-bata mengeja karna sudah terlalu lama tidak mengulangnya. Sekilas ia memandangi seorang bapak setengah baya yang telah tertidur pulas di kursi seberang. Bapak itu terlihat lesu, dan nampak guratan sedih dalam kerutan wajahnya (pikir gadis manis itu). Lantas ia kembali memandang ke arah jendela. Dan apakah yang ia lihat? Terbentang hamparan sawah padi menguning, pertanda tibanya masa panen. Juga bukit yang menjulang tinggi hampir menyerupai gunung. Ia sangat bahagia melihatnya. Sempat mengabadikannya beberapa potret lewat ponselnya. Matanya terus memandang hamparan sawah menguning itu dan senyum mengembang nampak pada wajah bulatnya. Pikirannya menerawang pada beberapa episode lalu. Kalaulah ada mesin waktu, ia sangat ingin kembali pada 2 tahun silam. Saat ia pertama kali membulatkan tekadnya untuk segera menyelesaikan studi Strata 1 nya. Dan rezki memang sungguh tidak akan tertukar, tetiba saja dosen yang tampan dan juga baik hati menawari sebuah proyek tentang metode System of Rice Intensification pada penanaman padi dengan rekayasa pemberian airnya.

Terlampau kagum pada beliau, hingga ia tidak banyak pertimbangan untuk mengiyakan proyek itu yang ternyata penuh dengan resiko. Oh My God... perjuangannya menanam padi tidak akan pernah dilupakan, dan dengan hal itu ia jadi sadar bahwa jasa para petani itu sungguh luar biasa, sungguh luar biasa baginya. Sampai-sampai, ia kadang memarahi anggota keluarganya yang tidak membabat habis nasi yang masih tersisa di piring makannya. Ia terus mengomel, ditambah karakternya yang memang cerewet. Ia bilang pada adik-adiknya kalau menanam padi itu susah, kalau menanam padi itu bukan dilakukan oleh sembarang orang, kalau menanam padi itu ibarat merawat anak dengan penuh kasih sayang hingga anak tumbuh menjadi seorang dewasa yang kokoh, dan itu semua tidak gampang de, katanya. Kemudian ia berpesan pada adik-adiknya "Hargailah kerja keras para petani". Dan jadi teringat misi gadis itu untuk segera menyelesaikan Strata 1 nya. Hanya satu alasan. Karna ia ingin segera menikah pada usianya yang baru menginjak 20 tahun. Tapi nyatanya Allah berkehendak lain. Akhirnya, saat itu juga ia memutuskan untuk melupakan semuanya. Selama prosesnya hingga saat ini, sungguh gadis itu mengalami jatuh bangunnya untuk move on. Kerja keras dan doa yang mengiringi setiap langkahnya untuk move on. Hingga ia pasrah menyerahkan semuanya pada Pemilik Hati, lillah.

Kereta terus menyusuri sepanjang jalan brebes, tegal dan bumi ayu. Pandangannya kembali pada latar di sisi jendela kereta. Dan kali ini ia melihat sebuah pemandangan yang sebenarnya sama seperti biasa, tetapi tidak untuk kali ini. Ia merasa berbeda. Karna sebenarnya, beda perjalanan kali ini ke Kota Satria adalah membawa cukup banyak misi, menjemput rezki, menjalin silaturahim, menghadiri undangan, jalan-jalan dan mungkin menjemput jodoh (jodoh siapa?entahlah) *dalam hatinya bingung :D. Hingga tepat 10.42 Kutojaya bergerak lambat menuju jalur 2 di Stasiun Purwokerto. Dan taraaaaaa "Aku sudah berada di Kota Satria" (ia tersenyum manis memandang sekitar :)).

*to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment disini yak..