Minggu, 01 November 2015

Menjemput Syahid

Sebelum memulai ngetak ngetik, alangkah baiknya membaca bismillahirrahmaanirrahiim, dengan harapan semoga bisa memberi manfaat dengan adanya tulisan ini. Sebenernya mah udah lamaaaa banget pengen nulis di blog ini, cuma karna waktunya serasa kurang... kalaupun ada waktu, saat itu saya lebih memprioritaskan untuk istirahat tidur karena sudah lelah. Namun tidak kali ini, saya ingin kembali mengaktifkan diri dengan menulis (sambil mengingat-ingat peristiwa saat itu), menyempatkan waktu di tengah malam di saat 2 jagoan saya tertidur lelap di kamar. Jadi ceritanya di sini saya ingin berbagi pengalaman tentang sebuah proses yang saya namakan “menjemput syahid” . MasyaAllah yah... proses melahirkan itu memang luar biasa. Saat itu HPL (hari perkiraan lahir) saya tanggal 12 November 2015. Mendekati HPL, setelah sebelumnya sempat masuk rumah sakit, kira-kira akhir september perasaan dalam hati sudah tidak karuan. Berdebar-debar, melebihi saat akan sidang sarjana dan pelaksanaan akad nikah. Hampir setiap malam merasa gelisah, tidak tenang tidurnya, karna perut pun sudah semakin membuncit. Miring kanan miring kiri anggeur wae serba salah. Waktu tidur rasanya jadi tidak berkualitas. Dan setiap tidur selalu ingin dipeluk, dicium dan dibelai suami. Rasa takut akan menghadapi proses melahirkan itu terus menghantui. Dan menangis dipelukan suami itu menenangkan rasanya. Suami selalu menguatkan, dan yang saya ingat suami selalu bilang “Tenang sayang, Allah selalu ada bersama kita, sabar ya”. Pikiran saya pun tenang kembali saat dikuatkan. Dilain waktu terkadang muncul lagi perasaan takut, dan pikiran jadinya entah kemana... memikirkan seandainya saja waktu terakhir saya di dunia adalah saat melahirkan anak, katanya Allah akan menjadikan saya seorang syahidah... dan saya akan memasuki jannahnya Allah. Sampai-sampai pernah pada suatu malam saya mengatakan sesuatu pada suami. Intinya begini, “Mas, ibu-ibu yang melahirkan itu sama saja mereka berjihad di jalan Allah, dengan segala bebannya yang semakin bertambah. Andaikan, saat melahirkan nanti Allah berkehendak lain atas kehidupan Nurul di dunia, atau sampai pada nafas yang terakhir, mas harus ikhlas yaa? Karna yang Nurul pernah baca, kalau pasangan kita meninggal dunia, dan kita ikhlas maka ia akan masuk jannahnya Allah. Nurul mau masuk jannahnya Allah mas...”. Dengan perkataan itu, lantas ia langsung mencium kening saya dan berkata lagi, “Sabar ya sayang, Allah bersama kita”. Dan mulai saat itu saya benar-benar pasrah apa yang nanti Allah kehendaki atas kehidupan saya. Semuanya lillahita’ala.

Pada ahad yang cerah, tepatnya 18 Oktober 2015 seperti biasa kami berdua jalan-jalan pagi di sekitar rumah,melewati sawah-sawah dan jarak yang ditempuh lebih jauh dari biasanya. Setelah jalan-jalan itu, perut saya merasa mules ingin BAB. Jadilah saya pergi ke WC dan ternyata tidak BAB. Seharian itu saya di rumah saja dengan suami, leyeh-leyeh dan bersantai ria. Sore harinya, bada ashar kami pergi ke supermarket untuk beli selimut bayi dan susu bumil yang kebetulan saat itu habis. Sesampainya di rumah, jelang magrib perut saya mules lagi ingin BAB. Ba’da sholat, barulah bisa BAB dan keluar sedikit. Tapi setelah itu perut rasanya tidak karuan, masih mules dan serba salah. Saya tidak memikirkan melahirkan hari itu. Karna sesuai mba bidan, bisa diperkirakan akhir oktober, 2 pekan sebelum HPL, seperti yang diprediksikan bidan yang kebetulan memang beliau temen satu kelompok liqo saya. Terakhir periksa ke beliau hari Sabtu, 17 Oktober 2015, palpasi (memeriksa dgn memegang pasien bagian abdomen), kemudian leopold 1 (mengukur tinggi fundus (rahim) uteri), leopold 2 (menentukan punggung bayi di kanan/kiri, dan terakhir punggung bayi ada di sebelah kanan), leopold 3 (presentasi, menentukan bagian terbawah janin), terakhir leopold 4 (penurunan, udah masuk panggul atau belum, alhamdulillah saat periksa sudah masuk jalan lahir). Perkiraan berat bayi diukur sama mba Lina sekitar 2,6 kg (menggunakan rumus kebidanan). Pikir saya saat itu sakit perut biasa saja, tidak lama juga akan menghilang dengan sendirinya. Tapi lama kelamaan ko semakin bertambah gak karuan rasanya. Jelang isya dan saat akan berwudhu, rasa-rasanya keluar cairan terus yang merembes dari vagina, dan ada air kecoklatan yang jatuh di lantai. Tapi saya tetap lanjut sholat isya berjamaah dengan suami dalam kondisi tiduran di kasur karna saat itu kondisinya lemah. Selesainya sholat, kasur tiba-tiba basah dan saya berfikiran apakah itu air ketuban? Semakin lama bertambah rembesannya. Akhirnya langsung panggil saudara dan bidan di depan rumah. Setelah dilihat bidan, ternyata iya itu air ketuban dan disarankan langsung ke rumah sakit. Akhirnya suami langsung ambil tas yang sebelumnya sudah disiapkan jauh-jauh hari masuk ke dalam mobil. Tas yang berisi beberapa perlengkapan melahirkan seperti kain, underwear, perlengkapan bayi dan lain sebagainya. Akhirnya kita berangkat dan saya memutuskan untuk ke bidan dekat rumah Mamah saja dulu, karna saya yakin saya bisa lahir normal di bidan tanpa harus ke rumah sakit. Di dalam mobil, perut masih merasakan mulesnya dan sudah merembes ke jok mobil. Saat itu berangkat pukul 19.50, sampai di bidan sekitar pukul 20.30, agak lama karna di sekitar daerah buyut ada pasar malam yang membuat macet.

Sesampainya di poliklinik, langsung deh berceceran air dan sedikit darah. Langsung dibawa ke ruangan kemudian diperiksa, bukan PD (periksa dalem) tapi pertama-tama tensi, menanyakan usia janin, dan kelengkapan lain baru kemudian bidan di sana dengan sigap mempersiapkan peralatan dekat dengan tempat tidur. Jam 21.00 langsung PD baru pembukaan 3. Mules juga masih belum sering, hanya sesekali. Saya ingat perkataan dea adik saya (in syaa Allah calon bidan juga), kalau mau lebih cepat melahirkannya coba badannya posisi seperti ruku, kedua tangan di atas kasur lalu menggoyang-goyangkan pinggul ke kanan dan kiri. Dan itulah yang saya lakukan. Kemudian jalan, gerakan itu lagi, jalan, gerakan itu lagi begitu seterusnya. Tubuh agak lelah, saya kembali tiduran dan minum teh manis sebagai tambahan tenaga. Mamah langsung datang saat itu juga. Dalam pikiran saya, pokoknya suami dan mamah harus standby di samping saya apapun yang terjadi. Hehe alhamdulillah itu berjalan dengan mulus, bener-bener standby. Saya minta suami mengelus-elus pinggul saya terus karena saat mules itu enaknya dielus seperti itu, setidaknya mengurangi rasa mulesnya. Dalam hati dan pikiran saya berusaha tenang setenang-tenangnya, saya berusaha meyakinkan diri saya bahwa melahirkan itu mudah, tidak sakit dan normal. Waktu menunjukkan pukul 22.00 wib, saya merasakan mules yang dahsyat. Terasa ingin BAB tapi kata bidannya ga boleh mengejan, tahan dulu karena pembukaan belum sempurna. Dikhawatirkan akan menyebabkan bayinya berkepala besar akibat mengejan, selain itu dikhawatirkan juga akan kehabisan tenaga saat benar-benar sudah sempurna pembukaannya. Entah apa yang saya pikirkan saat itu. Gak peduli dengan apa yang orang lain katakan. Saya mules ya mules aja...sesekali tahan untuk mengejan, sesekali sudah terlanjur mengejan karna ga tahan mulesnya. Masya Allah... benar-benar merasakan sakitnya saat itu, serba salah. Selalu berteriak saat mulesnya dahsyat, tapi terus juga mengucapkan shalawat, istigfar, takbir dan doa-doa lain yang memudahkan proses persalinan. Kata bidan saat itu, “Kalau sudah mules sering, dan benar-benar ingin BAB bilang ya bu”. Karna yang dirasakan saat itu benar-benar mules, akhirnya saya bilang sudah mau keluar bu, juga bilang pada bu bidan “Ayo PD bu bidan, ayo PD (dengan harapan segera pembukaan sempurna)”. Saya bilang seperti itu terus dengan harapan segera PD (agak tenang kalau sudah PD karna tahu sudah pemukaan berapa). Tapi bidan tidak mau ambil tindakan PD terus, dikhawatirkan itu membuka celah ketuban keluar terus dan akhirnya bayi di dalam kekurangan cairan. PD urung dilakukan, sampai pada tengah malam entah jam berapa akhirnya dilakukan PD. Alhamdulillah pembukaan sudah sempurna. Kata bidan, “Kalau saya bilang mengejan, ibu langsung mengejan ya bu”. Posisi saya bersandar di pangkuan suami, kaki suami melebar dan memegang tangan saya. Selama di poliklinik, dari mulai merasakan mules biasa sampai mules dahsyat saya selalu memegang kencang tangan suami dan mamah saya sambil bebacaan dengan suara keras. Sampai-sampai tangan mereka kesakitan karna saya sangat erat memegangnya. Allah...kalau ingat saat itu, benar-benar perjuangan. Tubuh saya dengan posisi kaki menekuk dan membuka lebar, badan agak tegak semacam bersandar.

Setelah mengejan 2 kali alhamdulillah akhirnya si mungil terlihat rambutnya... saat itu tepat pukul 01.00 pada hari Senin, 19 Oktober 2015. Saat rambutnya sudah mulai terlihat, lega benar-benar lega perasaannya, campur haru dan bahagia. Nano nano rasanya. Suami langsung mengecup kening dan berkata alhamdulillah..... semua lelah, semua mules, semua sakitnya terbayar sudah saat si mungil keluar. Mungil menangis keras dan langsung dibersihkan dari kotoran yang menempel. Kemudian saya langsung menjalani IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Ah si mungil benar-benar mungil, halus sekali kulitnya, pun dengan rambut-rambut halus yang menempel di tubuhnya, matanya yang masih menutup, hidungnya yang mancung, kulitnya yang masih merah, bibirnya juga yang sangat merah seperti memakai lipstik, jari-jari tangan dan kakinya yang sangat mungil. Semua itu membuat kami sangat bersyukur pada Allah bisa bertemu dengannya dalam keadaan sempurna. Dalam hati berkata, “Allah...terimakasih Engkau sudah mempercayai kami untuk merawat makhluk yang mungil ini”. Dan mulai saat itu juga, status kami berubah menjadi seorang Ayah dan Mamah yang in syaa Allah terus belajar, belajar dan belajar menjadi orangtua sholih. Begitulah proses perjalanan melahirkan “menjemput syahidah” untuk pertama kalinya... Berharap untuk proses-proses selanjutnya lebih dimudahkan dan dilancarkan oleh Allah. Amiin ya robbal’alamiin :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment disini yak..